Childsida, Membunuh Anak

Anak, menurut Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 diubah dengan UU No. 35/2014) menambahkan termasuk di dalam kandungan. Berarti, rentang umur anak adalah 0 (nol) tahun sampai di bawah 18 tahun, dan berada di dalam kandungan. Karena masih kecil dan muda, anak bergantung pada orang tua, keluarga, atau orang dewasa di sekelilingnya. Itulah yang menjadikan anak sebagai salah satu kelompok rentan di dalam kehidupan sosial. Ketika terjadi konflik dan perang, anak adalah kelompok yang mudah menjadi korban dan dikorbankan. Anak juga sangat rentan menjadi korban bencana alam. Kelaparan dan penyakit begitu mudah merenggut nyawa anak-anak. Anak mengalami kekerasan, eksploitasi, diskriminasi yang menyebabkannya kehilangan nyawa. Kejahatan dan pembunuhan terhadap anak dilakukan mulai dari orang tuatermasuk ibu yang mengandung dan melahirkannya, keluarga, orang dekat, dan siapa pun, termasuk dilakukan oleh masyarakat dan negara. Kejahatan dan pembunuhan anak dapat kita sebut sebagai childsida (childcide), meminjam istilah genosida (genocide). Childsida adalah kejahatan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa, individu atau kelompok termasuk pemerintah/negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Anak-anak dibunuh atau dibiarkan mati, karena mempunyai posisi yang lemah, tidak memprotes dan tidak mampu melawan. Anak juga tidak mempunyai ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan, sehingga keputusan menyangkut dirinya sulit diakomodasi dalam kebijakan pembangunan. Kejahatan dan pembunuhan anak terus terjadi, selain karena anak masih kecil, muda, dan bergantung, anak juga menyandang sejumlah identitas yang semakin menempatkan anak dalam posisi terdiskriminasi. Anak yang menyandang jenis kelamin perempuan, juga mengalami kejahatan karena dirinya perempuan, atau kejahatan berbasis gender alias femisida. Seorang anak, berjenis kelamin perempuan, dan disabilitas memikul tiga identitas yang kesemuanya adalah kondisi rentan. Anak, perempuan, disabilitas, minoritas, dan berkulit hitam, akan menyandang lima kondisi rentan. Genosida, khususnya pembersihan etnis umumnya terjadi pada situasi konflik dan perang. Sedangkan kejahatan terhadap anak (dan perempuan) juga terjadi pada situasi damai dan dilakukan oleh pemerintah/negara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pembangunan juga “menghasilkan” angka kematian bayi yang tinggi, gizi buruk, anak-anak tengkes (stunting), anak jalanan, pekerja anak, anak terlantar, trafiking anak, dan sebagainya. Semua kondisi tersebut adalah jalan untuk membunuh anak-anak. Negara tidak mampu menciptakan lingkungan yang aman dan ramah untuk anak, termasuk di ruang-ruang yang dikuasai dan dikendalikan negara. Pada banyak kasus, negara melakukan pembiaran sehingga kejahatan terhadap anak terus meningkat. Pelaku kejahatan terhadap anak dibiarkan berkeliaran oleh aparat negara karena berbagai faktor, seperti pengetahuan dan perspektif aparat yang buruk, atau alasan yang tidak dapat diterima akal sehat. Ketika melakukan kenakalan dan pidana, maka anak adalah korban dari orang dewasa, lingkungan sosial, dan pemerintah/negara. Namun, orang dewasa dan negara menciptakan hukuman dan penjara (apa pun namanya) untuk mengurung anak. Penjara untuk anak-anak pun tidak lebih baik dari penjara untuk penjahat kelas kakap dan perampok uang negara. Negara menggunakan kata-kata yang bagus untuk segala hal yang berkaitan dengan anak, yang dituangkan dalam berbagai instrumen, seperti potensi, tunas, penerus cita-cita bangsa, karunia Tuhan amanah Tuhan, memiliki harkat dan martabat, dan sebagainya. Namun, negara juga melakukan pembiaran, sehingga kejahatan dan pembunuhan anak dengan berbagai cara dan modus terus terjadi. Anak, karena dianggap masih kecil sehingga tidak mempunyai ruang untuk memberi pandangan dan partisipasi mengenai kehidupan dan cita-citanya. Kebijakan negara mengenai anak pun ditentukan oleh orang dewasa, yang belum tentu tulus memikirkan anak. Padahal ribuan tahun yang lalu Nabi Ibrahim telah meminta pendapat anaknya, Ismail untuk dikurbankan (Q.S. 37:102). Oleh : M. Ghufran H. Kordi K. (Pengamat Sosial) Publisher : Helni Setyawan