Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Siruaya Utamawan Sambangi KSPI Lampung, Kupas Tuntas Masalah Defisit Program JKN Hingga Perlindungan Pekerja
Metro Nusantara News,comBANDAR LAMPUNG – Anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, melakukan kunjungan silaturahmi ke Dewan Pimpinan Wilayah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (DPW KSPI) Provinsi Lampung pada hari Minggu, 26 Oktober 2025. Dalam diskusi yang berlangsung hangat, isu ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, kepatuhan badan usaha, hingga perlindungan pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sorotan utama.

Kunjungan Siruaya Utamawan disambut langsung oleh Ketua DPW KSPI Lampung, Sulaiman Ibrahim, dan Sekretaris Wilayah, Wiwin Hefrianto.

Sulaiman Ibrahim membuka diskusi dengan menyoroti kondisi di lapangan. "Di Lampung masih banyak perusahaan yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan. Perlu ada kerjasama erat antara BPJS dengan serikat pekerja," ujarnya.
Ia menambahkan, serikat pekerja siap berkolaborasi untuk mengawasi dan melaporkan badan usaha yang melanggar, serta memastikan pekerja yang belum terdaftar segera didaftarkan. "Sekarang di kepolisian sudah ada desk ketenagakerjaan, ini bisa kita manfaatkan," tegas Sulaiman.
Siruaya Utamawan menjelaskan bahwa kehadirannya adalah bentuk silaturahmi semi-informal untuk mendengar langsung aspirasi dari kalangan pekerja. Ia memaparkan isu utama yang dihadapi BPJS Kesehatan, yakni potensi defisit DJS.
"Sejak 2024, kita mengalami defisit tahun berjalan dari selisih iuran dan beban jaminan. Namun, kita masih terbantu pendapatan investasi sehingga akhir 2024 masih surplus sekitar 1 Triliun Rupiah," jelas Siruaya.
Ia melanjutkan, proyeksi awal 2025 menunjukkan potensi defisit tahun berjalan sekitar Rp 30 Triliun. "Namun, setelah berbagai upaya dilakukan, kami optimis akhir 2025 posisi aset neto masih bisa aman di atas 30 Triliun Rupiah, sehingga kondisi DJS masih aman hingga semester pertama 2026. Tapi ini masih proyeksi, data realisasi baru sampai Triwulan 3," tambahnya.
Siruaya menyebut kenaikan iuran adalah sebuah "keniscayaan" akibat kenaikan tarif layanan klaim fasilitas kesehatan (faskes) sekitar 9,5 persen pada awal 2023.
Meski demikian, ia mengapresiasi pandangan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. "Menkeu berpendapat, sepanjang ekonomi Indonesia belum tumbuh sesuai harapan, diskusi kenaikan iuran harus ditunda dulu. Intinya, menunggu masyarakat punya uang dulu," katanya.
Sebagai solusi sementara potensi defisit, Siruaya menyebut telah ada pembahasan penganggaran Rp 20 Triliun dari pemerintah, untuk pemutihan tunggakan peserta mandiri yang beralih ke segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pemda. Siruaya melanjutkan bahwa pemutihan tunggakan tersebut akan berdasarkan desil peserta JKN di Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) agar tepat sasaran.
"Kalau dilihat secara nilai, sebenarnya 20T bisa untuk menghapus hampir semuanya (tunggakan peserta mandiri), atau mungkin juga bisa buat menambah jumlah kepesertaan aktif PBI bagi yang membutuhkan," paparnya. Ia menambahkan bahwa selama ini kuota peserta PBI dari pemerintah pusat dibatasi maksimal 96,8 juta peserta. "Namun yang pasti, kebijakan atau skema ini masih dalam pembahasan antara pemerintah dengan BPJS Kesehatan, jadi kita harus tunggu finalnya nanti bagaimana," tambah Siruaya.
Selain ketahanan DJS, diskusi juga menyentuh rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Siruaya menegaskan bahwa semua pihak mestinya mendukung KRIS untuk standarisasi mutu layanan.
"Yang menjadi deadlock adalah apakah ini jadi kelas tunggal atau tidak. Protes dari pekerja adalah soal keadilan; 'kami bayar, masa disamakan dengan yang tidak bayar'," ungkapnya.
Ia juga menyoroti proporsi tempat tidur KRIS (60% di RS pemerintah, 40% di RS swasta) yang dinilai perlu melihat realitas Bed Occupancy Rate (BOR). "Kalau BOR tinggi dengan proporsi pasien JKN juga tinggi yang mencapai lebih dari 80 persen di banyak RS, 60 persen tidak akan cukup," papar Siruaya.
Terkait sistem rujukan, ia menjelaskan rencana Kementerian Kesehatan untuk beralih dari rujukan berjenjang menjadi rujukan berbasis kompetensi. Nantinya, FKTP bisa merujuk langsung ke faskes dengan kompetensi yang dibutuhkan, tidak harus berjenjang sesuai tipe RS.
Isu kepesertaan, khususnya bagi pekerja yang di-PHK, juga menjadi topik hangat. Siruaya mengungkapkan sarannya kepada Direksi BPJS Kesehatan sejak 2023 terkait penonaktifan pekerja di sistem Electronik Data Badan Usaha (e-Dabu).
"Dugaan saya, banyak pekerja yang di-PHK tetapi dilaporkan oleh perusahaan sebagai 'mengundurkan diri' untuk menghindari kewajiban. Perusahaan hanya melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak," ujarnya.
Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak boleh hanya percaya pada surat mutlak tersebut, meskipun secara hukum sah. "Saran Dewas, kalau pengusaha bilang pengunduran diri, harus ada evidennya, mana surat pengunduran diri pekerjanya. Sekarang terbantu dengan JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan), sehingga serikat juga lebih berjuang memastikan status PHK," tegasnya.
Ia juga menyinggung Peraturan Presiden (Perpres) 59/2024 sebagai hasil perjuangan bersama, yang memastikan pekerja yang sedang berselisih seharusnya tetap bisa mendapat layanan kesehatan meskipun perusahaan menunggak iuran.
Dalam sesi tanya jawab, Erick Mediartha dari serikat pekerja, menggarisbawahi masalah e-Dabu. "Kami mohon BPJS jangan langsung terima saja laporan dari perusahaan. Harus ada kolom untuk mengunggah eviden (bukti). Pekerja yang sedang berselisih akan sengsara tidak bisa berobat," keluhnya.
Siruaya menyambut baik masukan tersebut. "Saya senang ada yang menyuarakan ini. Saya sudah suarakan ini di 2023. Kolom eviden ada, tapi isinya hanya surat pernyataan mutlak itu. Ini yang harus kita dorong," jawabnya.
Sementara itu, Rifai dari Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan (FARKES) menanyakan soal pendapatan perawat dan nakes dari JKN yang dirasa masih kecil. Ia juga mengkritik sistem zonasi rujukan yang berbasis jarak, karena dinilai menghambat persaingan sehat antar RS.
Siruaya menjelaskan, BPJS Kesehatan membayar ke faskes dalam bentuk paket INA-CBG's yang tarifnya ditentukan Kemenkes. "Distribusi pendapatan klaim itu ke pekerjanya menjadi kewenangan manajemen RS. Serikat pekerja nakes bisa terus suarakan jika distribusi dirasa belum adil," jelasnya.
"Terkait zonasi," lanjutnya, "itu tujuannya untuk distribusi peserta agar tidak menumpuk di satu RS dan juga dapat ditangani secepatnya di RS terdekat. Tapi nanti dengan adanya sistem rujukan berbasis kompetensi, ini pasti akan ada penyesuaian-penyesuaian lagi."

Rosnita
