Metronusantaranews.com - IOM (International Orgnisation for Migration) Kupang, diminta juga memfasilitasi kebutuhan rohani Pengungsi, diantaranya dengan menyiapkan pendampingan tokoh agama sesuai keyakinan para pengungsi. Selain itu pihak terkait terus melakukan konsolidasi penanganan, Visitasi terjadual, Konseling dan pendampingan serta peran serta Media dan Masyarakat setempat.
Hal tersebut merupakan butir rekomendasi rapat koordinasi penanganan pengungsi di Kota Kupang yang diinisiasi IOM Kupang, bertempat di Hotel Aston, Rabu, 29 Juni 2022. Rakor tersebut menghadirkan Pejabat Komprehensif Solution Assistance UNHCR Indonesia, Mrs. Fanny, sebagai Narasumber secara daring, dan Herman dari Operation Unit IOM Kupang dan dimoderatori Kepala Badan Kesbang dan Politik Kota Kupang, Noce Nus Loa, SH, MSi.
Peserta Rakor terdiri dari Kesbangpol Provinsi NTT, Kesbngpol Kota Kupang, Tim Kanit POA Resta Kupang Kota, Kementrian Hukum dan Ham Provinsi NTT serta IOM Kupang.
Dari paparan UNHCR dan IOM Kupang, terungkap bahwa tingkat kebutuhan resettlement pengungsi sangat tinggi sementara ketersediaan Negara Ketiga penerima sangatlah terbatas karena berbagai syarat yang selektif. Tahun 2022 tercatat teradapat 1,5 Juta dari 26 juta pengungsi membutuhkan resettlement, namun secara global ketersediaan hanya 1% “tetapi melalui berbagai advoksi UNHCR Indonesia pada 2021 lalu mendapat kuota resettlement, 7 hingga 9 %, ada diatas Quota global” ungkap Fanny.
IOM Kupang memfasilitasi berbagai kebutuhan dasar pengungi yang ada di Kota Kupang dan dalam pelaksanaannya terus bersinergi dengan Pemerintah Daerah , KumHam NTT, Rumah Detensi Imigrasi dan Kepolisian Kupang Kota. “Saat ini kami masih memfasilitasi 203 pengungsi di Kota Kupang, 200 asal Afghanistan dan 3 asal Pakistan” Urai Herman.
Dengan kecilnya quota resettlement, maka sangat dipastikan masa tunggu pengungsi di Negara penampung akan sangat panjang dengan berbagai implikasinya. Para pengungsi Afghanistan sudah berada di Kota Kupang kurang lebih 10 tahun. Kondisi ini rentan membuat mereka depresi dan beberapa melakukan pelanggaranperaturan keamanan dan ketertiban.
Beberapa waktu lalu misalnya sudh terjadi dua orang pengungsi pria kedapatan menjalin hubungan asmara dan bermukim di rumah penduduk local. Paling anyar, seorang pengungsi Afghanistan stress, mabuk dan memanjat jembatan Liliba serta mengancam melakukan bunuh diri. Upaya mengevakuasi yang bersangkutan melibatkan berbagai pihak dan menimbulkan kemacetan panjang di beberapa ruas jalan yang melintasi Oesapa dan Liliba.
Indonesia bukan merupakan Negara penandatangan konvensi PBB tentang pengungsi namun sejak 2016, Presiden RI menetapkan pepres 125 untuk penanganan pengungsi selama berada di Indonesia. Pepres tersebut memberi pola penanganan pengungsi di Indonesia secara komprehensif, namun hingga saat ini belum terimplementasi terutama terkait pelaksanaan teknis dan pembiayaan ketika diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Perlu intervensi Menkopolhukam memediasa berbagai pihak terkait.(Johan Mbura)