Surat Edaran Kapolri Tidak di Indahkan Kapolda Riau Membuat Debt Colector/ Mata Elang Mengganas, Masyarakat Resah
Pekanbaru -Metro Nusantara News- ke ganasan Debt collektor di kota Pekanbaru membuat beberapa lembangga masyarakat geram, dimana pada tanggal 24/7/2024 lalu tepatnya di jalan setia Budi kecamatan lima puluh kota Pekanbaru terjadi penarikan paksa Mobil Agya BM 1560 OY di lakukan 5 orang pria bertubuh besar terhadap Kiki seorang ibu rumah tangga yang sedang menjemput anaknya sekolah
hal ini membuat Lembaga Swadaya Masyarakat Barisan Rayat Anti Korupsi ( LSM BARA API ) melalui Sekretaris Umum nya Afifuddin SH biasa dipanggil Fuddin angkat bicara, apakah Indonesia ini masih negara Hukum atau sudah berubah, kok bisah seenaknya perusahaan bertindak tanpa ada pengawasan dari pihak penegak Hukum” ungkapnya
Afifuddin menuturkan,”bila pihak debitur mengakui telah melakukan wanprestasi, kendaraan bisa langsung ditarik leasing.
tapi bila pihak debitur tidak mengakui telah melakukan wanprestasi, pihak leasing tidak bisa langsung menarik kendaraan tersebut.
maka Langkah hukum yang akan diambil leasing adalah menggugat debitur ke pengadilan negeri atas keterlambatan cicilan itu. Nah, debitur juga wajib mempertahankan dalilnya di depan majelis hakim Pengadilan Negeri atas sengketa tersebut mengapa tidak mau disebut wanprestasi. Bila si debitur bisa meyak
inkan majelis hakim, maka sidebitur bisa menang dan kendaraan tidak ditarik leasing. Sebaliknya, bila pihak leasing lebih meyakinkan majelis hakim, kendaraan yang menjadi objek akan ditarik” tutur Fuddin
Hal itu sesuai dengan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020. Di mana pada intinya penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Di jelaskannya, “Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia
yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cedera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cedera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar
upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo.
Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan bahwa tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cedera janji” (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek
jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidu
sia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999.
Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi seba
gaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg.
Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia, melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.
berdasarkan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg, Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195
, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari” jelasnya
Fuddin menegaskan,” maka itu dengan adanya laporan yang sudah kami sampaikan beberapa waktu lalu, menurut kami, tidak ada alasan bagi Polisi tidak menindak lanjuti kasus yang kami laporkan itu, sesuai dengan sudah adanya Surat edaran Kapolri berisi perintah yang menyasar debt collector atau mata ela
ng, agar dapat ditertibkan, di data, ditindak secara hukum, menunggu jukrah dari Polda kegiatan,Tak hanya itu, dalam surat edaran Kapolri ini juga disebut, apabila didapati adanya debt collector atau mata elang, maka harus segera diamankan, digeledah badan, dan jika ditemukan senjata tajam (sajam) m
aka segera diproses, atau memanggil pihak leasing guna diberi imbauan agar tidak melakukan perampasan di jalan,”
“Lakukan Pendataan terhadap LP yang melibatkan Debt Collector dan jadikan atensi penanganan, tangkap, tahan, jo kan 55 56, kepada Pihak yang menyuruh, baik Perseorangan atau Leasing,” tulis surat edaran yang mengatasnamakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo,”
Selain itu, dalam edaran ini juga ditegaskan bahwa debt collector hendaklah masyarakat gerebek tangkap (catatan: serahkan ke polisi/Polres/Polsek terdekat. Menurut edaran tersebut, debt collector tidak berbeda dengan begal yang melakukan tindakan pembegalan secara terang-terangan mengatasnamakan debt collector leasing.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga mengimbau agar semua warga Indonesia mengedarkan informasi ini dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh pihak-pihak yang disebut sebagai Debt Collector atau mata elang.
Dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP yang dikeluarkan pada tanggal 23 September 2013, Bank Indonesia telah menetapkan bahwa persyaratan uang muka/DP untuk pembelian kendaraan bermotor melalui bank minimal adalah 25 persen untuk kendaraan roda dua dan 30% untuk kendaraan roda tiga atau lebih yang dig
unakan untuk keperluan nonproduktif, serta 20 persen untuk kendaraan roda tiga atau lebih yang digunakan untuk keperluan produktif.
“Adapun Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan yang melarang Leasing atau Perusahaan pembiayaan untuk menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yg menunggak kredit kendaraan,” ujarnya.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/ 2012 tentang pendaftaran Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang dikeluarkan Tanggal 7 Oktober 2012.
Menurut Undang-undang No 42 Tahun 1999, Fidusia adalah suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu benda dengan dasar kepercayaan, tapi benda tersebut masih dalam penguasaan pihak yang mengalihkan
Fidusia umumnya dimasukkan dalam Perjanjian kredit Kendaraan Bermotor.
“Kita sebagai debitur membayar biaya jaminan Fidusia tersebut. Pihak Leasing wajib Mendaftarkan setiap Transaksi kredit di depan Notaris atas Perjanjian Fidusia ini,” tegasnya.
Oleh karena Perjanjian Fidusia ini melindungi aset konsumen, Leasing tidak bisa serta merta menarik Kendaraan yang gagal bayar karena dengan perjanjian Fidusia, alur yang seharusnya terjadi adalah pihak Leasing Melaporkan ke Pengadilan!
“Sehingga Kasus Anda akan disidangkan dan Pengadilan akan mengeluarkan surat Keputusan untuk menyita kendaraan Anda dan Kendaraan Anda akan dilelang oleh Pengadilan dan uang hasil Penjualan Kendaraan melalui lelang tersebut akan digunakan untuk membayar utang kredit Anda ke Perusahaan Leasing, lalu
uang sisanya akan diberikan Kepada Anda,” tegasnya.,
“Jika kendaraan anda akan ditarik Leasing, mintalah surat Perjanjian Fidusia dan sebelum ada surat Fidusia tersebut jangan bolehkan penagih membawa kendaraan anda,” ujarnya.
Karena jika mereka membawa sepucuk surat Fidusia (yang ternyata adalah PALSU) silakan anda bawa ke Hukum, Pihak Leasing akan didenda minimal Rp 1,5 milyar.
Tindakan Leasing melalui Debt Collector/Mata elang yang mengambil secara Paksa Kendaraan di rumah, merupakan Tindak Pidana Pencurian.
Jika pengambilan dilakukan di jalan, merupakan tindak Pidana Perampasan dan bisa dijerat Pasal 368, Pasal 365 KUHP Ayat 2,3 & 4 junto.(H S).