Dirgahayu 80 Tahun Mahkamah Agung, Seberapa Yudikatifnya Lembaga Peradilan ?

Metro Nusantara News - Konsititusi UUD 1945, menganut sistem pembagian kekuasaan Trias Politica, konsep yang dikemukakan John Locke dan dikembangkan Montesquie, diserap pendiri bangsa Soekarno Hatta. Fungsi eksekutif, yudikatif, dan legislatif, dipisah untuk mencegah kekuasaan absolut dan penyalahgunaan wewenang penyelenggara Negara.
80 tahun merdeka, apakah 3 kekuasaan itu masih berfungsi sebagaimana dimaksud pendiri bangsa? Faktanya eksekutif (Presiden dan jajarannya) begitu dominan. Legislatif nyaris tidak lebih sebagai “bumper” keinginan eksekutif, dan Yudikatif yang nyaris tak beperan?
Kekacauan penyelenggara bernegara ini makin menegaskan betapa lemahnya peran Yudikatif dalam proses bernegara. Sebagai negara hukum perwujudan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, hukum adalah Panglima, tidak boleh ada pihak mengintervensi proses hukum. Namun pada kenyataannya itulah yang terjadi.
Istilah hukum tajam ke bawah tumpul ke atas menjadi sikap pesimistis bagi mereka yang berada di kelas bawah. Bagi mereka yang di kelas atas punya banyak pilihan untuk “menumpulkan” hukum. Pelanggaran hukum maupun etika yang dilakukan para penegak hukum menjadi ironi dalam kehidupan di negara hukum
Contoh kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, setelah sebelumnya putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia capres dan cawapres. Semua putusan tersebut mengindikasikan betapa lemahnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung selaku lembaga Yudikatif, dapat di intervensi kekuasaan.
Bersyukur MK sudah mencoba berbenah diri, dengan menolak permohonan perkara No. 60/PUU-XXII/2024 mengenai ambang batas usia calon kepala daerah. Namun tidak dengan Mahkamah Agung dan jajarannya. Lembaga Yudikatif terjebak “permainan politis”, faktanya amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi Tom Lembong mempertegas bahwa Mahkamah Agung bermasalah. Dasar keyakinan hakim dan fakta persidangan dijadikan alasan membangun ratio decidendi yang begitu buruk, hakim terkesan ingin mengambil jalan “mudah” hanya copy-paste keinginan jaksa, sehingga membuat putusan yang cacat logika (red herring fallacy).
Moratorium seleksi Hakim Agung
Sebagai langkah awal mendorong Mahkamah Agung melakukan self-correction adalah dengan Moratorium pemilihan calon Hakim Agung periode 2025, 2026 dan 2027 agar Mahkamah Agung berbenah. Komisi Yudisial dan DPR RI agar dapat menyeleksi Hakim Agung yang kredibel, bebas dari skandal suap, dan berani menyatakan tidak untuk intervensi dari pihak Jaksa, Polisi, TNI, serta oknum di Eksekutif dan Legislatif.
Lembaga Yudikatif berhentilah menjadi stempel kekuasaan yang diwakili Jaksa selaku pengacara negara, tegakan marwah dan martabat hakim. Kalau Hakim pengecut jangan jadi hakim, janganlah kasus Zarof Ricar menghantui para hakim, sehingga ketika berhadapan dengan jaksa penuntut umum, apapun yang didakwakan JPU di-Aminkan oleh Pengadilan seolah sebagai penebus "dosa" masa lalu. Ya katakan ya, tidak katakan tidak, selebih itu adalah perbuatan jahat, kekejian di mata Allah SWT.
DPR, khususnya Komisi III DPR selaku institusi yang melakukan fit and proper pemilihan Hakim Agung, hendaklah dengan cermat menyeleksi calon Hakim Agung; jangan ada lagi calon yang bermasalah terpilih menjadi Hakim Agung. Shock therapy moratorium pemilihan Hakim Agung patut dipertimbangkan DPR
Selamat ulang tahun Mahkamah Agung RI ke-80
Selamat menjadi penegak keadilan, walaupun langit akan runtuh, jadilah penjaga NKRI, katakan tidak untuk suap, apalagi intervensi dan tekanan dari pihak manapun, yang bermuara pada kriminalisasi.