Warga, Akademisi, Nelayan, dan LSM Gelar Deklarasi 4 Pulau Singkil Milik Aceh, Haji Uma Wakili Forbes DPR/DPD RI Sampaikan Pidato Perjuangan

Warga, Akademisi, Nelayan, dan LSM Gelar Deklarasi 4 Pulau Singkil Milik Aceh, Haji Uma Wakili Forbes DPR/DPD RI Sampaikan Pidato Perjuangan

MetroNusantaraNews.com, Aceh Singkil, 3 Juni 2025 — Ratusan warga dari berbagai elemen—akademisi, nelayan, tokoh adat, dan aktivis LSM—berkumpul di gugusan empat pulau di Aceh Singkil untuk menggelar deklarasi penegasan bahwa Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang merupakan bagian sah dari Provinsi Aceh. Deklarasi ini merupakan respons terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri, Jenderal (Purn) Tito Karnavian, yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini ditolak oleh masyarakat Aceh, yang menilai bahwa secara historis, administratif, dan sosial budaya, pulau-pulau tersebut adalah milik Aceh.

Hadir dalam deklarasi ini rombongan Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh, yang dipimpin oleh H. Sudirman (Haji Uma) dari DPD RI. Turut mendampingi, para senator seperti Darwati A Gani, Teuku Ahmad Dadek, dan H. Azhari Cage, serta anggota DPR RI yaitu H. Muhammad Ibrahim, S.E., M.M. (Fraksi Demokrat), H. Irmawan, S.Sos., M.M.(Fraksi PKB), dan H. Ruslan M. Daud (Fraksi PKB). Kehadiran mereka disambut oleh Bupati Aceh Singkil H. Safriadi Oyon, S.H., anggota DPRA seperti Hadi Surya, S.TP., M.T. dari Fraksi Gerindra dan Doni Ariga Rajes dari Fraksi PKB, serta unsur DPRK Aceh Singkil.

Dalam pidatonya, Haji Uma mewakili forbes menyampaikan komitmen tegas bahwa Forbes DPR/DPD RI asal Aceh akan memanggil langsung Mendagri ke Jakarta untuk membahas secara khusus status empat pulau tersebut. Ia menegaskan bahwa pulau-pulau ini bukan hanya sekadar titik di peta, melainkan bagian dari sejarah, kehidupan ekonomi, dan identitas rakyat Aceh. Haji Uma juga berdiskusi langsung dengan pemilik akta tanah di Pulau Panjang serta kelompok nelayan yang menyampaikan keresahan mereka atas klaim wilayah yang dianggap tidak berpijak pada fakta lapangan.

Senator Azhari Cage menekankan bahwa perjuangan mempertahankan empat pulau tersebut adalah bagian dari menjaga marwah Aceh. Ia menyebut bahwa perjuangan ini tidak bisa berhenti di tingkat lokal, tetapi harus dibawa ke tingkat nasional hingga kebenaran diakui secara hukum dan politik. Hal senada disampaikan oleh Bupati Aceh Singkil, yang menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada para wakil rakyat yang telah hadir langsung ke wilayah pulau dan menunjukkan komitmen nyata untuk mengawal persoalan ini sampai tuntas. "Kami di daerah akan berdiri bersama masyarakat dan legislatif nasional demi memastikan hak rakyat Aceh tetap terjaga," ujarnya.

Sementara itu, H. Irmawan, S.Sos., M.M., anggota DPR RI dari Fraksi PKB, turut memperkuat sikap Haji Uma dan rekan-rekannya di DPD RI. Dalam pernyataannya, Irmawan menyampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh Haji Uma bukan sekadar aspirasi, tapi merupakan fakta yang didukung oleh data historis, sosial, dan yuridis.

“Saya tegaskan, kami di DPR RI bersama DPD RI akan mengawal persoalan ini hingga selesai. Ini bukan soal kepentingan politik, ini soal hak rakyat Aceh. Empat pulau ini sejak dulu merupakan bagian dari Aceh, dan itu dibuktikan oleh data yang sah dan kesaksian warga. Kita akan terus mendesak pemerintah pusat agar membatalkan keputusan Mendagri yang merugikan rakyat Aceh ini,” ujar Irmawan.

Dukungan dari seluruh elemen Forbes DPR/DPD RI memberi semangat tersendiri bagi masyarakat Aceh Singkil yang selama ini merasa terabaikan dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat. Salah satu tokoh nelayan yang hadir bahkan menyatakan bahwa ini adalah pertama kalinya mereka melihat para wakil rakyat datang langsung meninjau dan berdiri bersama rakyat di atas tanah yang disengketakan.

“Ini bukan sekadar pulau, ini tanah rakyat Aceh. Ini marwah rakyat Aceh. Kami mohon, perjuangan ini jangan berhenti sampai wilayah kami kembali secara sah kepada Aceh,” ujarnya penuh harap.

Deklarasi ini menjadi awal dari gerakan kolektif yang lebih luas, tidak hanya sebagai simbol perlawanan damai, tetapi juga sebagai pernyataan bahwa masyarakat Aceh siap memperjuangkan kedaulatannya melalui jalur konstitusional. Dukungan dari para legislator nasional dan pemerintah daerah diharapkan mampu menjadi kekuatan yang mendorong penyelesaian secara adil, tuntas, dan berpihak kepada kebenaran sejarah.(FAHRID)