Diskusi Visioner Prof Apridar dan Kapolres Lhokseumawe : Membangun Keamanan dari Ruang Kelas

MetroNusantaraNews.com, Lhokseumawe – Dalam narasi keamanan konvensional, solusi yang sering diusung biasanya bersifat reaktif dan represif: penegakan hukum yang tegas, patroli intensif, dan peningkatan jumlah personel. Namun, sebuah diskusi visioner antara Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si., seorang guru besar ekonomi dan pemerhati pendidikan, dengan Kapolres Lhokseumawe, AKBP Dr Ahzan Bone, SH, S.I.K., M.S.M., MH didampingi Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe Iptu Yudha Prasetya, S.H dan Kasat Reskrim Polres Bireuen AKP Jeffryandi S.Tr.K., S.I.K., M.Si., mengalihkan paradigma tersebut. Mereka membahas sebuah premisis yang sering terabaikan: jalan paling berkelanjutan menuju keamanan dan ketertiban masyarakat bermula dari investasi pada kualitas pendidikan.
Dialog renyah ini sangat relevan dalam konteks Aceh, sebuah provinsi yang tidak hanya berjuang mengatasi ketertinggalan pendidikan seperti wilayah marginal lainnya di Indonesia, tetapi juga memiliki kekhususan dalam menerapkan Syariat Islam sebagai pedoman hidup. Aceh menjadi laboratorium yang sempurna untuk menguji bagaimana pendidikan berkualitas, yang terintegrasi dengan nilai-nilai luhur, dapat menjadi fondasi kokoh bagi masyarakat yang aman, sejahtera, dan beradab.
Kondisi Pendidikan Aceh: Potret dan Tantangan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh dan Kemendikbudristek memperlihatkan wajah yang berliku. Meski Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang SMA/Sederajat relatif baik, di atas 80%, kualitas outcomes pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Nilai Ujian Nasional (UN) dan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk literasi dan numerasi siswa Aceh secara konsisten berada di bawah rata-rata nasional. Fasilitas pendidikan di banyak sekolah, khususnya di wilayah pedalaman dan pesisir, masih memprihatinkan. Ketersediaan buku, laboratorium, dan akses internet yang stabil masih merupakan sebuah kemewahan.
Dalam konteks inilah, kepemimpinan kepala sekolah menjadi kunci penentu. Sebagaimana ditegaskan oleh Dewi (2018), kepala sekolah adalah penggerak utama terwujudnya sekolah bermutu. Di Aceh, peran ini bahkan lebih kompleks. Seorang kepala sekolah tidak hanya harus menjadi pemimpin instruksional yang efektif tetapi juga menjadi teladan yang menginternalisasi dan mentransmisikan nilai-nilai Syariat Islam dalam budaya sekolah bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai kerangka untuk membentuk akhlak dan karakter mulia (akhlakul karimah).
INSERT: Sebuah Model Solutif untuk Konteks Aceh
Program INSERT (INdonesian School LeadERship Training) yang dirancang sebagai model pengembangan kepala sekolah berbasis literasi dan teknologi, menemukan momentumnya di Aceh. Model ini selaras dengan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan pendidikan di wilayah marginal.
Enam pilar keunggulan INSERT beresonansi kuat dengan visi pendidikan Aceh, Pertama Kecakapan Literasi: Sejalan dengan semangat Iqra' (bacalah), ayat pertama yang diturunkan, yang menekankan literasi sebagai fondasi peradaban. Kedua Efektivitas Pembelajaran & Kepemimpinan Instruksional: Memastikan proses transfer ilmu berlangsung optimal. Ketiga Lingkungan Belajar & Pembentukan Karakter: Membangun sekolah sebagai microcosm masyarakat Islami yang aman, nyaman, dan berakhlak. Lingkungan belajar yang kondusif adalah prasyarat untuk menyerap nilai-nilai. Keempat Kepemimpinan Pendidikan: Menguatkan peran kepala sekolah sebagai sutradara yang mengorkestrasi seluruh elemen sekolah.
Tools INSERT, yang terdiri dari tiga lingkup (Kepemimpinan Pendidikan, Budaya Sekolah, dan Sistem Pembelajaran), dapat diadaptasi untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai Islami terintegrasi dalam kepemimpinan, budaya, dan proses pembelajaran, tanpa mengesampingkan kecakapan abad 21.
Mendukung Visi Kapolres: Pendidikan sebagai Vaksin Sosial
Pernyataan Kapolres Lhokseumawe tentang pentingnya pendidikan untuk menciptakan keamanan adalah sebuah insight yang sangat strategis. Dalam perspektif kepolisian, keamanan (security) tidak hanya berarti absennya kejahatan (absence of crime), tetapi juga hadirnya ketertiban dan kedamaian (presence of order).
Investasi dalam pendidikan, khususnya melalui program seperti INSERT yang membangun kapasitas kepemimpinan di sekolah, berfungsi sebagai vaksin sosial terhadap berbagai patologi sosial. Remaja yang terlibat dalam tawuran, narkoba, atau perilaku menyimpang lainnya seringkali adalah produk dari lingkungan yang miskin inspirasi dan kesempatan. Sekolah yang dikelola dengan baik, dengan kepala sekolah yang visioner, menjadi "rumah kedua" yang menawarkan masa depan yang lebih cerah.
Dengan memperkuat enam pilar INSERT, sekolah dapat:
Mengurangi youth unemployment: Lulusan dengan kecakapan literasi dan teknologi yang baik lebih siap bekerja atau berwirausaha.
Memperkuat Ketahanan Keluarga: Orang tua yang melihat anaknya mendapat pendidikan karakter yang baik akan merasa lebih tenang dan terlibat aktif dalam komunitas.
Mencegah Radikalisme: Pendekatan keamanan yang lunak (soft approach) melalui pendidikan yang menanamkan nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam bingkai Islam yang rahmatan lil 'alamin adalah senjata ampuh melawan paham radikal.
Kolaborasi Segitiga Emas: Akademisi, Penegak Hukum, dan Praktisi Pendidikan
Diskusi antara Prof. Apridar dan Kapolres Lhokseumawe harus menjadi pemicu bagi sebuah kolaborasi segitiga emas. Prof. Apridar, mewakili dunia akademik, dapat memberikan kajian mendalam, pengembangan model, dan evaluasi berbasis data. Kapolres, mewakili aparatur penegak hukum, dapat memberikan jaminan keamanan bagi berlangsungnya proses pendidikan serta data tentang kerentanan sosial di wilayahnya. Sementara itu, Dinas Pendidikan dan kepala sekolah sebagai pelaksana di lapangan menjadi ujung tombak implementasi.
Mereka dapat bersinergi untuk mengadopsi dan mengadaptasi model INSERT di Lhokseumawe dan seluruh Aceh. Tahapan dalam INSERT—identifikasi baseline, pelatihan, pendampingan, Forum Headmaster, hingga Leadership Booster—dapat menjadi roadmap yang jelas. Luaran program, seperti modul, HKI, dan buku referensi, akan menjadi legacy berharga untuk replikasi di seluruh Indonesia.
Kesimpulan: Dari Lhokseumawe untuk Indonesia
Aceh, dengan otonomi khusus dan komitmen penerapan Syariat Islam, memiliki peluang emas untuk membuktikan bahwa nilai-nilai keislaman dan kemodernan bukanlah dua kutub yang bertentangan. Justru, integrasi keduanya dalam sistem pendidikanlah yang akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan teknologis, tetapi juga berakhlak mulia dan bertanggung jawab.
Dialog antara Prof. Apridar dan Kapolres Lhokseumawe adalah sebuah simbol dari kesadaran kolektif yang baru. Keamanan tidak lagi hanya dicari dengan membenahi sel penjara, tetapi dengan membangun ruang kelas yang berkualitas. Memperkuat kepala sekolah berarti memperkuat sekolah; memperkuat sekolah berarti memperkuat masyarakat; dan pada akhirnya, masyarakat yang kuat, cerdas, dan berakhlak adalah pondasi terkuat bagi keamanan nasional yang hakiki. Inilah misi bersama yang harus kita dukung, mulai dari Lhokseumawe, untuk Aceh, dan untuk Indonesia yang lebih damai.(FAHRID)